Selasa, 22 April 2014

Pertambahan Penduduk dan Lingkungan Pemukiman di Indonesia

TUGAS SOFTSKILL KELOMPOK
PENGETAHUAN LINGKUNGAN
(Tema: Pertambahan Penduduk dan Lingkungan Pemukiman di Indonesia)


Disusun Oleh:

Nama / NPM                :  1Atiek Handayani                /31411283
                                        2Fathimah Baya Nabilah   /32411726
                                        3Tarjo                                /37411029
Dosen                           :  Dian Kemala Putri

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2014
Pertambahan penduduk yang semakin tidak terbendung mengakibatkan mempengaruhi dengan lingkungan pemukiman yang ada di Indonesia ini. Kesenjangan sosial juga menjadi salah satu penyebab dari lingkungan pemukiman yang ada di Indonesia ini antara yang kaya dan yang miskin. Pemerintah pun tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di lingkungan pemukiman yang miskin.
Ditinjau dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia jumlah penduduk jika dilansir untuk tahun 2013 saja yaitu sebanyak 237.641.326 jiwa. Jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertahun sekitar 1,49 persen (Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014). Luas daerah Indonesia yaitu sebesar 1.890.754 kmdilansir pada tahun 2005 (Sumber:http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel&task=show&Itemid=165). Cukup padat akan tetapi kepadatan yang terjadi tidak menyebar, melainkan jumlah kepadatan itu terjadi yang paling banyak di Pulau Jawa dikarenakan merupakan Ibu Kota berada di Jakarta dan banyak perantau-perantau yang memilih pindah ke Jakarta beserta sanak saudara terutama pada saat Lebaran, entah perantau tersebut sukses ataupun tidak sukses.
Kembali pada pembahasan terhadap pertambahan penduduk itu sendiri yaitu banyaknya warga yang mayoritas tidak paham akan pentingnya keluarga berencana  yang menyebabkan pertambahan penduduk tersebut tidak terbendung. Terutama pada warga kurang mampu yang dimana, selain kurang mampu, juga tak memiliki tempat tinggal yang oleh karena itu mereka tinggal di tempat yang kumuh, yang sebenarnya tempat tersebut tidak layak bahkan dilarang oleh pemerintah untuk dihuni karena tempat tersebut milik pemerintah atau milik orang orang lain atau swasta. Tindakan pemerintah yang tidak sigap dari awal yang menyebabkan pada pemukiman yang dilarang tersebut sampai bertahun-tahun bahkan puluhan tahun ditinggali oleh para warga yang tidak memiliki tempat tinggal yang kemudian hari di usir atau dialokasikan pada tempat lain, mereka menolak bahkan melakukan tindakan yang anarkis karena mereka merasa sudah tinggal di daerah tersebut sejak pendahulunya yang kemudian menjadi semakin sulit dalam pemindahan warga tersebut ke tempat yang legal atau layak. Sebagai contoh pemindahan warga dari bantaran kali ciliwung, mereka yang tinggal disana, dipemukiman tersebut dipindahkan karena merusak pemandangan serta infrastruktur kota, akan tetapi “Pemprov DKI telah menyediakan rumah susun (Rusun) sebagai tempat relokasi warga yang berasal dari bantaran kali. Ahok pun selaku wakil gubernyr pun meminta agar warga yang masih tinggal di bantaran sungai bersedia direlokasi atau pulang ke daerah asalnya masing-masing” (Sumber kutipan: http://metropolitan.inilah.com/read/detail/2066733/ahok-akan-sikat-semua-warga-di-bantaran-ciliwung#.U1F-oHZiaZS). Berikut tampilan pemukiman yang berada di bantaran kali ciliwung:
Sumber Gambar:
            Pemukiman liar yang biasa di tempati oleh warga tersebut juga biasanya dipinggir rel kereta. Pemukiman di pinggir rel kereta sesungguhnya bersifat membahayakan penghuni pemukiman tersebut ataupun termasuk dalam konteks pemukiman yang tidak legal. “SUMUTPOS.CO-Pemukiman liar di kawasan rel kereta api akan ditertibkan pihak PT Kereta Api Indonesia. Penertiban itu sesuai peraturan bahwa kawasan aman untuk pemukiman dan perlintasan kereta api harus radius 12 meter di sebelah kanan dan kiri” (Sumber kutipan:http://sumutpos.co/2013/11/68576/pemukiman-liar-di-pinggir-rel-ka-segera-ditertibkan).
            Biasanya mereka yang tinggal di pemukiman tersebut sama halnya dengan yang tinggal di bantaran kali dikarenakan masalah ekonomi dan juga turun menurun keluarga yang tinggal di lokasi tersebut. Hal tersebut yang menyulitkan pemerintah ataupun instansi yang bersangkutan untuk pengatasan masalah. Biasanya mereka meminta ganti rugi atas pemindha tersebut, sesungguhnya hal tersebut aneh, karena tempat yang mereka tempati saja sudah tidak resmi atau illegal, akan tetapi mereka meminta ganti rugi, seharusnya pemerintah atau pihak yang terakaitlah yang memiliki kewenangan yang meminta ganti rugi atau denda. Sungguh ironis hal tersebut. Berikut potret dari pemukiman di pinggir rel Kereta Api: 
 
(Sumber gambar: http://sumutpos.co/wp-content/uploads/2013/11/Rumah-dekat-rel-kereta-api1-450x303.jpg )
            Pemukiman yang didiami bukan hanya pemukiman kumuh, akan tetapi pemukiman mewah juga memiliki hal-hal yang cukup ada perhatian. Permukiman mewah di Indonesia tentunya sudah sangat berkembang pesat. Permukiman ini bukan hanya rumah mewah, namun juga apartemen-apartemen mewah yang marak dibangun hingga banyak dilakukan penebangan liar, pemusanahan lahan hijau demi pembangunan permukiman mewah. Indonesia sudah jelas menyatakannya dalam UUD 1945 tentang kehidupan yang layak. Layak dalam arti memiliki tempat berlindung yang cukup. Namun kini, semua disalah artikan oleh oknum-oknum yang haus akan bisnis properti sehingga menjadikan cita-cita yang ada dalam UUD 1945 menjadi disalahgunakan. Harga perumahan kini makin tinggi, pembangunan perumahan mewah semakin gencar, penduduk Indonesia dengan pendapatan rendah pun semakin tercekik dengan keadaan. Saat ini kebutuhan rumah tinggal, khususnya di Jakarta setiap tahunnya mencapai sekitar 70-80ribu unit. Angka yang cukup fantastis, mengingat Jakarta adalah kota yang tidak besar, namun merupakan jantung kehidupan Indonesia. Begitu banyak warga Jakarta yang berpenghasilan tinggi dan mampu tinggal di permukiman mewah yang dibuat oleh agen-agen properti. Tertuang dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman. Faktanya, keinginan pemerintan untuk menjamin setiap warganya untuk memiliki rumah dan bermukin dengan layak dengan rencana membangun 1000 hunian murah ternyata gagal direalisasikan. Kendala yang dihadapi cukup berat, dari pencairan dana dan subsidi serta harga bahan baku yang tinggi. Tidak hanya sampai disitu namun harga tanah yang semakin mahal dan beberapa daerah di Indonesia yang sulit dijangkau pun menjadi penyebab gagalnya pemerintah merealisasikan rencana tersebut.
            Permukiman mewah yang semakin berkembang khususnya di kota-kota besar di Indonesia ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi warga yang tinggal di kota kecil dengan penghasilan yang rendah. Warga tersebut akhirnya mencoba untuk mengadu nasib ke kota-kota besar, berharap mendapat pekerjaan dengan penghasilan tinggi dan dapat hidup layak di permukiman mewah seperti yang dibayangkan. Namun, kenyataannya tak semua warga dapat hidup layak di kota besar. Banyak persaingan dan cukup berat untuk dilalui. Alhasil, warga dari kota kecil tersebut terlantar di kota besar. Permukiman mewah yang diimpikan tak sanggup untuk dibeli karena harganya yang sangat tinggi. Warga tersebut akhirnya tinggal di rumah-rumah kumuh di bantaran kali, kolong jembatan dan pinggir rel kereta api.
            Tanpa disadari, pembangunan permukiman mewah di kota besar yang gencar dilakukan ini berdampak sangat buruk pada pola pikir warga yang tinggal di kota kecil. Semakin bertambah penduduk di kota besar, namun semakin terlihat kehidupan yang kontras antara permukiman mewah dan permukiman kumuh. Penggusuran permukiman kumuh dilakukan dan diganti dengan kegiatan kota lainnya seperti membangun mall atau apartemen. Sebaiknya pemerintah bisa menyeimbangkan permukiman di Indonesia. Penggusuran permukiman kumuh seharusnya diganti dengan pembangunan rusun untuk menampung warga kurang mampu yang tidak bisa hidup layak di permukiman mewah. Solusi penggusuran ini belum tentu dapat dengan mudah dilakukan. Banyak warga yang tidak mau dipindah ke rusun dengan berbagai alasan. Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah pun tidak sedikit untuk melakukan penggusuran. Pemerintah memiliki solusi lain yaitu mengadakan transmigrasi, dimana sebagian warga dipindah ke kota lain agar tercapainya penyeimbangan permukiman di kota besar.
Opini berdasarkan sumber yang didapat dari : (http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=315)
 
Sumber Gambar:
( https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf6Ogc-siQ9tMwflv9GbnyapToReiWeWjuDCdM933aJ58GbwWXpS5E3vM2GorB1r6kY48uFKDfy0oo5HUWfhz4-KWK2D1DrROW84pXjpHTwdfXTOGgapDIfCIuPiCGZ3P7J6aytG1i-Mfw/s1600/perumahan-elit-perkotaan.jpg )